Thursday, August 8, 2024

Curhat Kamis: Jadi Ibu Kenapa Sulit?

Ibu, menurut wikipedia 
Ibu adalah orang tua perempuan dari seorang anak. Seorang perempuan dapat dianggap sebagai ibu ketika ia telah melahirkan anak,[1] merawat dan membesarkan seorang anak, baik anak kandungnya maupun bukan anak kandungnya, atau dengan menyediakan rahimnya untuk pembuahan dalam kasus kehamilan pengganti.

        Menjadi ibu buat saya adalah usaha tanpa henti setelah menikah, peran berharga dan penuh tantangan yang bisa diambil oleh seorang wanita itu saya dapatkan setelah lima tahun menikah, akhirnya saya menjadi seorang ibu. Peran yang membawa banyak kebahagiaan, sekaligus  perubahan besar dalam kehidupan saya— dan sering kali membuat saya merenung tentang apa artinya menjadi seorang ibu.

        Rutinitas pagi saya setelah subuh selalu dimulai dengan mempersiapkan bekal anak-anak. Menyiapkan bekal itu semacam healing masa kecil, untuk menyembuhkan innerchild saya, karena jaman saya sekolah dulu Mamih sibuk bekerja dan tidak punya waktu untuk membawakan saya bekal. Biasanya saya buat nasi goreng sendiri untuk dibawa ke sekolah memakai kotak bekas eskrim. Jadi ketika saya punya anak, saya ingin mereka memiliki kenangan yang baik, bahwa mereka selalu dibawakan bekal sekolah dengan perlengkapan bekal yang bagus dan lucu. 

Tapi kejadian pagi ini bikin saya mikir, "kenapa sih jadi Ibu itu susah banget...?" 

        Pagi ini, saya masak hamburger dengan homemade patty untuk anak-anak, tidak terlalu besar dan cukup, dengan harapan anak-anak pasti senang saya bawakan hamburger ini. Ketika Shasha liat kotak bekalnya, langsung dong ngomel sambil marah katanya bekalnya kebanyakan... Esmosi banget bun gegara denger Shasha ngomong  gitu. Padahal udah ruwet mikir bawa bekal apa & hebob masak pagi-pagi akhirnya saya putuskan Shasha ngga usah bawa bekal pagi, cukup makan catering sekolah aja untuk lunch. 

Burger yang katanya "kebanyakan"

Setelah anak-anak berangkat, termenung, sambil mikir kenapa sih jadi ibu itu rasanya kayak naik roller coaster tanpa seat belt?

        Saya akui, dulu saya juga sering banget berbeda pendapat, berantem, negatif thinking ke Mamih. Saya tidak mengerti mengapa dia begitu tegas, begitu keras dalam menetapkan aturan. Tetapi sekarang, setelah saya menjadi ibu, saya mulai mengerti. Menjadi ibu itu sangat sulit, terutama ketika harus menghadapi anak-anak yang memiliki karakter dan kebutuhan yang berbeda-beda. Belum lagi keharusan menjadi pembimbing dan pengajar anak.. ya Allah kalau lagi capek kayak tadi pagi rasanya beban ya Bun... Saya harus terus belajar dan beradaptasi untuk memahami apa yang terbaik untuk Raya & Shasha (alhamdulillah anaknya dua saja cukup, kebayang kalau lebih dari itu.. Mamih stress tiap hari). 

        Pernah ngga sih ngerasa perubahan identitas dari sebelum jadi ibu, dan sesudah jadi ibu itu bikin kalian merasa kehilangan jati diri? Atau jangan-jangan hanya saya saja yang mengerasa kayak gitu ya?. Satu sisi, saya bangga dengan peran saya sebagai ibu dan istri, namun di sisi lain, ada kerinduan untuk tetap diakui sebagai individu yang memiliki keinginan, kebutuhan, dan impian sendiri. Ini adalah bagian dari perjuangan menjadi ibu—menjaga keseimbangan antara memberikan segalanya untuk keluarga dan tetap menjaga jati diri... Ibu yang lain mikir gini juga ngga sih? 

        Selain itu, menjadi Ibu juga berarti sering disalahartikan oleh anak-anak dan orang-orang di sekitar. Padahal kadang kalau saya harus menjadi sosok yang tegas ya karena keadaannya memaksa kayak gitu... Namun, sayang seribu sayang, emang pemikiran anak  ya beda sama saya ya.. mereka seringnya tidak memahami niat baik di balik larangan tersebut. Mereka mungkin hanya melihat sisi "galak" dari ibunya, tanpa mengerti bahwa setiap aturan yang dibuat adalah demi kebaikan mereka sendiri.

        Jadi Ibu sering kali saya harus mengesampingkan keinginan pribadi demi kesejahteraan anak-anak. Ini bukanlah hal yang mudah, terutama saat kelelahan dan tekanan mulai menumpuk. Tetapi di balik semua itu, saya tahu bahwa tugas ini adalah amanah yang harus saya jalankan dengan sepenuh hati. Lagian anak mana sih yang minta dilahirkan? Kan ngga ada.. Memang saya sebagai orangtua/Ibu yang mendapatkan titipan dari Allah seyogyanya menjaga titipan tersebut dengan sebaik mungkin.. Ya kan.. ya kan... 

        Yah gitu deh curhatan hari ini... Setelah jalan-jalan keliling Pacific Place dan blanja di Kemchick buat bekal anak-anak (tuh kan, udah marah-marah juga Ibu mah pasti tetep mikirin anak-anak da) saya sadar, meskipun peran ini banyak banget tantangannya, saya ngga akan menukarnya dengan apapun di dunia ini, secara nunggunya juga lumayan lama ya Bund.. Menjadi ibu mengajarkan saya tentang cinta tanpa syarat #eeeaa, kesabaran, ketangguhan (kuli panggul lewat) dan menyadari bahwa tidak ada Ibu yang sempurna. Meskipun anak-anak saya mungkin untuk saat ini belum memahami semua keputusan yang saya buat untuk mereka, saya yakin bahwa suatu hari nanti mereka akan mengerti bahwa setiap hal yang saya lakukan adalah karena saya mencintai mereka lebih dari apapun. 

        Dan mungkin, ketika saat itu tiba, kita bisa tertawa bersama mengenang masa-masa ini—masa di mana bekal sekolah mereka, menjadi simbol cinta saya kepada mereka.

"Benar jika kau tak pernah memilih lahir dari orangtua yang seperti apa. Begitu juga orangtuamu, mereka tak pernah memilih melahirkan anak yang seperti apa. Maka keduanya dapat tanggung jawab dan anugerah yang sama." Dompet Ayah, Sepatu Ibu - Is Hairen

Tuesday, August 6, 2024

From Working Mom to Pursuing Dreams: My Postgrad Journey at 47

        I've always had this little itch to pursue a master's degree, but somehow, life had other plans. Right after I got married, I actually got accepted into a master's program in Gender Studies at the University of Indonesia (UI). But just as I was about to dive in, my hubby gently reminded me, "Maybe we should focus on starting a family first?" And there went my academic aspirations, temporarily parked.

       Fast forward a few years, and I was knee-deep in diapers changes, daycare driver, meals cooking, PTA meetings, and work deadlines. The thought of enrolling in a master's program felt like dreaming of a vacation on Mars—nice, but not happening. My days were a blur of school runs, helping with homework, and trying to keep my eyes open during late-night work sessions. Occasionally, I'd wistfully think about further education, but then Raya's drawing lesson, Shasha's school project and project missions would snap me back to reality.

        As the kids grew older and more independent, I found myself with a little more breathing room. One day, out of nowhere while sipping a (still hot!) cup of coffee, I thought, "Why not dust off that old dream of a master's degree?" With hubby's encouragement, I decided to take the plunge. I enrolled in the postgraduate program at Sahid University, majoring in Corporate Communication. Returning to school at 47 felt like signing up for a marathon with zero training. I never knew that it would be a mental and physical challenge hahahaha. 

        One of the biggest hurdles was retraining my "rusty" brain. It had been ages since I'd last studied, and let me tell you, the communication theories I once knew seemed like ancient hieroglyphs. I spent countless hours googling to understand about philosophy, statistic, management reputation, etc, trying to catch up with my younger classmates who could probably recite these theories in their sleep. It was humbling and, at times, hilarious. My laptop was full by stacks of eBooks online, muttering to myself like a mad mom.

from working Mom

to postgraduate student

        Despite the obstacles, this journey has been incredibly rewarding. With a strong commitment (lots of coffee and help from chatgpt), I've managed to juggle all my responsibilities. I've enjoyed the new experience of learning, debating with younger classmates, and freely express my thought to my professors. It's been refreshing to be around young, enthusiastic minds who bring fresh perspectives and ideas to the table. These interactions not only enriched my learning experience but also helped me stay updated with the latest trends and developments in the field of communication.

        Emotionally, being a mature (old) student has had its ups and downs. There were moments when I felt out of place or doubted my abilities. But the support from hubby, kids, and office mates helped me push through these moments of self-doubt. I realized that pursuing a master's degree at my age was not just about achieving a personal goal; it was about showing my children that it's never too late to chase your dreams. I wanted them to see that with hard work and determination, anything is possible.

        This journey has shown me that age should never be a barrier to personal growth and education. It requires dedication and effort, but the fulfillment and growth you experience are well worth it. Pursuing a master's degree at my age has allowed me to rediscover my passion for learning, expand my knowledge, and open new doors for my future career. It's been a challenging but incredibly rewarding adventure, and I'm grateful for every moment of it.

        Please keep pray for me, so that I can maintain my commitment to learning and be an example for my kids, showing them with determination and perseverance, anything is possible and there are no age limits for education or any other dreams. :)